Rabu, 05 Desember 2012

A prolog into therapy

Sesuai judul blognya, ini cerita tentang my boy Hanif yang Desember 2012 ini bakal genap berumur 3 tahun. Yup 3 tahun dan sebelum sampai ke umur 3 tahun ini kita dapat "sedikit cobaan" :) dari Allah yakni problem hiperaktivitasnya Hanif.
Sebelumnya biar jelas, direkap dulu ceritanya. Sekitar Hanif berumur 2 tahun, saya arisan bersama teman-teman SMP. Kebetulan 2 diantaranya dokter dan udah punya 3 anak, jadi waktu melihat Hanif yang lagi bermain dia merasa perlu memberitahu saya kalau Hanif sepertinya hiperaktif. Wow, hiperaktif? Yah saya memang sudah "ngeh" sih dengan perilaku Hanif yang satu ini. Dan hiperaktif juga bukan barang baru buat saya, karena ibu saya sendiri bilang kalau saya dulu itu waktu kecil hiperaktif. Jadi saya pikir, wah turunan kali yaa.. ditambah wakti hamil emang saya bawaannya jalaaan melulu. Jadilah akhirnya saya dengerin teman saya ini sambil lalu aja.
Setelah Hanif menginjak usia 2 tahun lebih (hampir 2 1/2 tahun). Saya mulai melihat beberapa gejala perilaku Hanif yang lain selain hiperaktif. Salah satunya speech delay (telat bicara). Waktu dibandingin sama anak sepupu saya yang lebih kecil, kosa katanya jauh lebih sedikit. Meskipun Hanif tetap semangat buat main bareng. Waktu itu saya juga masih terus mikir, oh mungkin beda-beda kali ya tiap anak. Ada anak yang aktif tapi bicaranya terlambat, terus ada anak yang bicaranya banyak tapi tidak terlalu aktif. Kebetulan anak adik sepupu saya ini perempuan dan tidak terlalu lari-larian kaya Hanif.
Perilaku lainnya yang bisa dibilang bikin saya lumayan puyeng adalah Hanif doyaaaaaaan bangeeeeet lari. Terutama di indoor place kaya Mall dan gedung kawinan. Jadi bayangin aja kita uda dandan cantik-cantik ke mall tapi nggak bisa ngeceng atau window shopping, soalnya musti ngejarin anak 2 tahun. Pilihannya cuma 2, Hanif kalo gak digendong ya dikejar :D. Suami saya juga agak2 pusing soal ini, bayangin saya belum pernah lihat suami saya ngomel-ngomel sampe anak saya segede sekarang ini :).
Yang bikin pusing juga adalah kalo kondangan. Apalagi acaranya acara keluarga sendiri, yang berarti kita harus dandan rapih seragaman dan harus ada dari awal sampai akhir. Dan dari semua acara nikahan keluarga yang saya datangin, aktivitasnya Hanif cuma satu : lari. Awalnya ada teman-temannya yang lain jadi mereka semacam main kejar-kejaran. Tapi setelah teman-temannya udahan, Hanif tetap terus lari-lari (tanpa ada yang dikejar) nanti di sesi observasi dengan dokter hal ini bakal ditanya dan penting untuk dijawab jujur. Soalnya beda antara ada yang dikejar sama cuma pengen lari-lari aja.
Pernah dia acara nikahan adik ipar saya, Hanif sampe jatuh terbentur kepala belakang di selasar mesjid. Soalnya waktu itu habis hujan dan saya udah capek untuk ngejar-ngejarin Hanif. Ketika saya kira dia ada di tempat yang aman, ternyata dia belok ke arah tempat yang tidak kita duga. Jadi ini juga note buat mommies2 yang merasa, ah anakku biasa aja kok aktifnya... anak kan emang harus aktif.. tapi aktifnya ini membahayakan nggak buat dirinya sendiri? Itu mungkin yang musti jadi bahan pertimbangan. Seandainya anak kita aktif tapi kalo dilarang masih mau nurut, well mungkin emang masih ok. Kalau Hanif siy kalo udah lari-lari jangan harap mau dengerin suara saya :p.
Saya mulai ribut ke suami buat meriksain Hanif ke klinik tumbuh kembang. Terus terang di keluarga semua ini masih termasuk hal baru, dan emang sulit buat ngakuin kemungkinan anak kita ada kekurangan. Itu wajar siyh, Hanif ini juga salah satu penyebab yang saya curigai adalah akibat pola asuh yang tidak bisa saya kontrol langsung (via babysitter/pembantu). Jadi mommies jangan ragu-ragu buat cerewet sama siapa pun juga yang kita pekerjakan. Bahkan kalau yang ngasuh itu ibu/keluarga itu kita sendiri.Untuk kasus Hanif, ini ada kemungkinan juga dia agak terlalu di manja sama eyangnya :D, tapi jangan khawatir ini keluhan umum dari semua pasangan muda yang tinggal dengan orang tuanya :p. Hanif ini memang cucu pertama dan agak ditunggu-tunggu. Sebelum saya nikah juga ibu saya rajin ngumpulin mainan saya dan adik saya dulu dengan alasan nanti buat cucu :D. Karena saya pikir ibu saya masih kerja jadi yah mungkin main sama Hanif salah satu caranya mengusir stress.
OK, ini sih terserah dengan persepsi masing-masing individu yah. Tapi saya sih pada akhirnya beranggapan begini : anak itu tanggung jawab orang tuanya. Dan orang tuanya tetap yang harus memberi pola asuh yang terbaik. Apa dengan ditangani nenek kakeknya itu yang terbaik? Bisa jadi, tapi ingat kita menyerahkan pengasuhan anak-anak kita yang butuh begitu banyak perhatian, kepada orang-orang yang sudah tidak lagi di peak performance, a.k.a sudah mulai uzur. Mereka mungkin di usia 50-60 tahun (kalau ada yg ayah ibunya masih 40an..wauuww..) di saat-saat mereka mungkin mulai banyak slowing down, masa kita tega nambahin tanggung jawab buat mereka? Saya sih juga tidak selalu menyarankan untuk jadi stay home mom, karena mungkin memang banyak orang-orang yang tugasnya begitu mulia sampai harus meninggalkan anak di rumah. Tapi kalau mau meninggalkan anak dengan orang tua ada baiknya ada orang lain yang membantu (seperti pembantu/baby sitter) plus .. ini yang paling penting.. Harusss terus dikontrol, jangan diserahin semuanya begitu aja. Kita tetap juga harus cari info, bench marking sama perkembangan anak lain, peka sama hal-hal yang tidak sama dengan kemajuan anak lain.
Oiya, kembali ke masalah Hanif.. selain speech delay, atau dalam hal ini Hanif masih sering pakai bahasa planet / baby talk.. Hanif juga sering marah-marah sendiri atau yang sering juga disebut tantrum. Saya lihat perilaku ini muncul kalau ada maunya yang tidak dipenuhi.. sudah bisa diduga dong pasti gara-garanya selama ini kemauannya selalu diturutin :(. Hal lain yang bikin saya aneh, bahkan kalo main sendiri Hanif juga sama marah-marah.. contoh : kalau lagi main "stacking" (menyusun balok) terus tiba-tiba jatuh, dia bakal kesal sendiri. Pastinya udah pada tahu kan yah kalau resep utama tantrum itu selama tantrum berlangsung kita harus MENGABAIKAN si anak. Kalau ada perilaku berbahaya seperti menjeduk-jedukkan kepala ke tembok atau memukul-mukulkan kepala dengan tangan, bawa anak ke tempat yang aman/empuk (tempat tidur, sofa, dsb) terus baru diabaikan. Kalau Hanif kadang selain marah-marah juga lempar-lempar barang. Kalau bisa sebelum barang dilempar kita ambil (apalagi kalau barang pecah belah) terus kita tetap abaikan tantrumnya. Intinya sih tetap diawasi, tapi kita tidak memberi ekspresi apapun di wajah (jangan bilang cup-cup, jangan bilang "nanti kalo gak nangis bunda beliin es krim, jangan marah balik), ekspresi wajah harus datar, kita tidak bicara apa-apa, tapi tetap mengawasi kelakuan si anak inih.
Heboh? Repot? Pasti! Apalagi kalo ngamuknya di tempat umum. Jadi tontonan? Jelas! Tapi percaya deh, semua orang yang pernah jadi orang tua, pasti pernah mengalami ini minimal sekali. Jadi jangan merasa "Oh no, I must be a bad parent" yang harus kita ingat adalah "Welcome to the very big club of parenthood"
Oh ya terus ingat dari setiap kekurangan anak kita, pasti ada kelebihannya, percaya deh yang nyiptain yang Maha segalaNya kok. Kalau Hanif ini saya lihat positifnya dia seneng senyum, semua orang biar pun dia bandel dan aktifnya kayanya malah dengan suka hati membiarkan dia main (mungkin ini juga sebabnya susah dilarang :p), Hanif juga sayang binatang, menurut saya dia kreatif karena dia bisa main dengan apa saja bahkan yang bukan mainan. Dia bisa main hanya dengan beberapa kotak tissue saja :D yang disusun (pura-puranya jadi truk), dia paling aware kalo saya sedih, kalo muka saya sedih sedikit aja dia pasti langsung kasih sun dan peluk.. So count the bad eggs but also count the good ones.
Jadi so far itu problema yang dihadapi Hanif, next time bakal saya ceritain pengalaman ketemu salah satu dokter spesialis syaraf anak di Jakarta berikut observasi dan terapinya Hanif.
For every mom out there.. cheers.. ur not alone :) *wink*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar